Mereorientasi Pendidikan Karakter Indonesia

WR Supratman, jauh hari sebelum Indonesia merdeka, telah mencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Salah satu bait lagu tersebut berbunyi:"…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya". Itulah cita ideal para Founding Fathers bangsa ini dulu, yang kini tak lagi membahana dalam semangat pembangunan nasional, lebih-lebih daerah.


Lee Kwan Yew ketika tahun pertama menjabat PM Singapura, memprioritaskan membangun jiwa, mental, dan karakter warga negaranya. Setelah memasuki tahun kedua, ia membangun seribu WC umum seantero Singapura, lalu membeli seribu dompet yang diisi dengan ratusan dolar Singapura dan kemudian sengaja ditempatkan pada seribu WC umum tersebut.

Ketika dicek satu hari setelahnya, seribu dompet itu masih utuh, demikian juga setelah dua hari masih belum ada yang bergeser dari tempatnya. Pada hari ketiga, satu dompet hilang, tetapi ditemukan di kantor polisi di mana isinya tak berkurang.

Bagaimana jika itu dilakukan di Indonesia, apakah dompet-dompet tersebut masih akan utuh berikut isinya, atau bahkan mungkin akan hilang dua ribu dompet…?

UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Tujuan ini sangat mulia, seirama dengan bait lagu "Indonesia Raya" tadi yang terlebih dahulu hendak membangun jiwa, baru badannya.

Makna Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya. Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Pada masa Orde Baru menjadi PMP serta PPKn.

Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), dengan pendekatan pembelajaran yang didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus transmisi nilai.

Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan bahkan merupakan masa puncak dari krisis karakter. Bentuk konkret dari krisis karakter ini terlihat dari kerusakan akibat korupsi, kerusakan ekonomi, konflik horizontal, karakter yang anarki dan cenderung menyenangi kekerasan dan kemunafikan, serta hilangnya kebanggaan menjadi bangsa Indonesia.

Kini 2010, Indonesia kita yang seharusnya makin dewasa karena telah berumur, malah semakin mempertontonkan keanehan sebagai negeri yang dihuni oleh penduduk muslim terbesar di dunia. Entah mengapa dan apa yang keliru, tetapi semuanya harus segera diatasi. Untuk melakukan itu, Pendidikan adalah pintu utama, khususnya dalam membangun karakter bangsa yang kukuh.

Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya FW Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif.

Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte.

Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat.

Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa anda dalam kegelapan". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.

Kini Bagainmana?

Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara parsial.

Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.

Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya.

Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik.

Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan oleh orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan PR tersebut. Di sekolah, banyak anak yang ikut ujian nasional dibantu oleh gurunya atau pihak lainnya karena mengejar target kelulusan.

Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.

Bagaimana mengatasinya?

Secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.

Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa.

Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga.

Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.

Berikutnya, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas.

Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.

Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu. Silakan mencoba. (**)

OLEH: NURSALAM SIRAJUDDIN (Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Sumber: http://metronews.fajar.co.id/read/91257/19/mereorientasi-pendidikan-karakter-indonesia

0 komentar:

Posting Komentar